Pengertian Paradigma
Apa itu paradigma? Paradigma adalah cara pandang atau cara melihatdari sudut pandang tertentu terhadap suatu masalah. Dalam ilmu sosial,sudut pandang atau cara pandang tertentu itu adalah teori. Memahamiparadigma dalam sosiologi sangat penting bagi kita. Dalam sosiologi adatiga paradigm utama menurut Goerge Ritzer, yaitu, paradima fakta social,paradigm definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Tetapi menurut saya paradigma sendiri adalah pandangan masyarakat terhadapa sesuatu hal yang dapat berupa hal negatif ataupun positif dan nantinya akan jadi titik acuan masyarakat ato menjadi kebiasaan masyarakat. Jadi paradigma itu dapat bersifat baik ato tidak baik.
1.Paradigma fakta sosial
Dalam paradigma fakta sosial mengakui bahwa pokok persoalan yangharus menjadi pusat perhatian dari penyelidikan sosiologi adalah faktasosial. Fakta sosial itu adalah sesuatu(things) yang berada diluar individutetapi bisa mempengaruhi individu di dalam bertingkah laku. Misalnyamasyarakat dengan hukum, adat, kebiasaan, organisasi, hirarkikekuasaan, system peradilan, nilai-nilainya dan institusi sosial lainnya.Secara garis besar fakta sosial terdiri dua tipe, yaitu struktur sosial danpranata sosial. Ada dua teori besar yang bernaung di bawah paradigmafakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural dan teori konflik.
A.Teori Fungsionalisme Struktural
Teori ini memandang masyarakat sebagai suatu system yang teratur yangterdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain, dimana bagian yang satu tidak bisa berfungsi tanpa ada hubungan denganbagian yang lain. Bila terjadi perubahan pada satu bagian akanmenyebabkan ketidak seimbangandan dapat menyebabkan perubahanpada bagian lainnnya. Sebagai contoh institusi pendidikan atau keluarga.Dalam keluarga ayah berfungsi sebagai kepala keluarga yang melindungidan memberi nafkah untuk keluarga dan ibu sebagai memeliharakehidupan dalam rumah tangga dan mengasuh anak-anak. Kalau salahsatu tidak berfungsi maka akan terjadi kepincangan dalam keluargatersebut. Demikian juga menurut terori ini kemiskinan dalam masyarakatjuga berfungsi, misalnya;
- Orang miskin berfungsi untuk mengerjakan pekerjaan kasar dalam
rumah tangga atau pabrik.
- Orang miskin dapat menimbulkan sikap altruis pada orangkaya.
- Orang miskin berfungsi membantu majikan mengurus urusan rumah
tangga.
- Kemiskinan dapat menguatkan norma-norma sosial.
- Kemiskinan membuka ruang untuk berbuat amal bagi orang lain.
- Kemiskinan dapat menguatkan norma-norma sosial.
- Kemiskinan membuka ruang untuk berbuat amal bagi orang lain.
Jadi menurut teori fungsionalisme, kemiskinan bukanlah sesuatu yang
buruk atau negative, melainkan bermanfaat bagi masyarakat.
Keterbatasan teori fungsional struktural
kelemahan teori ini adalah tertutup terhadap perubahan sosial, karenaterlalu menekankan keteraturan dan kemapanan struktur sosial yangsudah baku. Kelemahan lainnya adalah bahwa struktur fungsionalmempertahankan status quo dan tidak membuka kepada orang atau hallain berperan. Keterlibatan non status quo dipandang sebagai ancamanbagi masyarakat dan pemegang status quo.
B.Teori Konflik
Teori ini merupakan reaksi atas teori fungsionalisme. Teori konflik melihatelemen-elemen dan komponen-komponen dalam masyarakat merupakansuatu persaingan dengan kepentingan yang berbeda sehingga pihak yangsatu selalu berusaha menguasai pihak yang lain. Pihak yang kuatberusaha menguasai pihak yang lemah. Dengan demikian konflik menjaditak terhindarkan. Asumsi dasar teori konflik adalah.
@. Struktur dan jaringan dalam masyarakat merupakan persaingan antar
kepentingan dan bahkan saling bertentangan satu sama lain.
@. Sehingga dalam kenyataan menunjukkan bahwa system sosial dalam
masyarakat menimbulkan konflik.
@.Karena konflik adalah sesuatu yang tak terelak, maka konflik menjadi
salah satu cirri dari system sosial.
@Konflik ini tampak dalam kepentingan-kepentingan dalam kelompok –
kelompok masyarakat yang berbeda-beda.
@. Selain itu konflik juga terjadi dalam pembagian sumber-sumber daya
dan kekuasaan yang tidak merata dan tidak adil.
@. Sehingga konflik menungkinkan terjadinya perubahan-perubahandalam masyarakat. Dan perubahan yang akan terjadi tentu sajaperubahan ke arah yang lebih baik atau bisa juga sebaliknya.
Kelemahan Teori Konflik
Teori konflik mengabaikan kestabilitasan dalam masyarakat dan terlalumenekankan perubahan dan konflik. Walaupun kadangkala perubahanyang terjadi bersifat minor.
Tokoh terkemuka teori konflik, yaitu Karl Mark.
2. Paradigma Definisi Sosial
Paradigm ini menekankan kenyataan sosial yang subyektif, tindakanindividu. Paradigm ini mengartikan sosiologi sebagai studi atau ilmu yangberusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial, yaitu tindakanyang penuh arti dari seorang individu. Beberapa teori yang bernaung dibawah paradigm ini adalah.
A.Teori Aksi
Teori ini meletakan dasar bagi teori-teori yang lebih berkembangkemudian, yakni teori interaksionismesimbolik dan fenomenologi. Asumsidasari teori aksi adalah bahwa;
@.Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sebagai subyek atau
individuyang memiliki kesadaran.
@.Sebagai subyek, manusia bertindak untuk mencapai tujuan-tujuantertentu. Dan dalam bertindak itu manusia menggunakan teknik, cara,prosedur, metode serta perangkat yang cocok dan sesuai untuk mencapaitujuan tersebut. Misalnya untuk mencapai gelar sarjana, andamengunakan metode atau cara study sebagaimana yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan.
@.Kelangsungan tindakan manusia itu hanya dibatasi oleh kondisi yangtidak bisa diubah oleh diri sendirinya. Sebuah tindakan individu ituberlangsungterus sampai ada halangan serius yang membuat individutidak bisa berbuat apa-apa lagi.
@.Individu memiliki kemampuan memilih, menilai dan mengevaluasitindakan yang akan, sedang dan telah dilakukannya. Artinya tiap individubisa menimbang, memikirkan dan merancanakan tindakan yang akandilakukannya. Misalnya apakah mahasiswa itu akan melanjutkan sarjanafilsafat, sementara masa depan tidak cerah?
@. Pertimbangan-pertimbangan moral, ekonomi, sosial biasanya muncul
pada saat pengambilan keputusan. Tokoh terkemukan teori ini adalah Max Weber.
B.Teori Interaksionnisme Simbolik
Teori interaksi simbolik menyatakan bahwa individu atau manusia dalamberinteraksi tidak Cuma memberi reaksi terhadap tingkah laku atauperbuatan individu lain, melainkan terlebih dahulu menafsirkan ataumember interpretasi sebelum bertindak. Di sinilah letak perbedaanmanusia/individu dengan hewan. Hewan hanya memberi reaksi tanpamemberi interpretasi, tetapi manusia memberi reaksi setelah itu menafsirarti atas tindakan atau aksi tersebut. Menurut teori ini reaksi pada dirimanusia atau individu itu terjadi melalui tiga tahap, yakni, aksi,interpretasi dan reaksi.
Kelemahan teori interaksionalisme simbolik
Kelamahan teori ini adalah mengabaikan struktur sosial makro, sepertinorma sosial, hokum, institusi sosial karena terlalu terfokus pada interaksisosial mikro, yaitu hubungan antar pribadi.
Tokoh terkemukan teori ini adalah Goerge Herbert Mead dan Herbert Blumer.
C.Teori Fenomenologi
Teori ini berpendapat bahwa manusia atau individu bisa menciptakandunia sosialnya sendiri dengan memberikan arti kepada perbuatan-perbuatannya itu. Teori ini muncul sebagai reaksi atas anggapan yangmemandang bahwa manusia atau individu dibentuk oleh kekuatan-kekuatan sosial yang mengitarinya. Untuk melakukan studi fenomenologisorang harus tinggal dalam masyarakat yang bersangkutan agar ia bisamenangkap arti fenomena sosial yang ada dalam masyarakat itu.
Tokoh terkemuka teori ini adalah Alfred Schultz.
D.Etnometodologi
Entometodologi adalah cabang dari fenomenologi yang mempelajari danberusaha menangkap arti dan makna kehidupan sosial suatu masyarakatberdasarkan ungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang merekaucapkan atau ungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Menurut teoriini seorang sosiolog tidak perlu memberikan arti/makna kepada apa yangdibuat oleh orang lain atau kelompok, tetapi tugas sosiolog adalahmenemukan bagimana orang-orang atau anggotaa masyarakat. membangun dunia sosialnya sendiri dan mencoba menemukanbagaimana mereka memberi arti atau makna kepada dunia sosialnyasendiri.
Misalnya di Manggarai ada istilahBisbalar danG egerta. Kedua ungkapanini sering ditemukan dalam sebuah perkawinan. ‘Bisbalar’ artinya bisadibawa larikah! Dan jawaban dari pemudi;”Gegerta’ artinya tunggu hingapaagi hari. Arti ungkapan itu adalah bahwa pemudi mau di bawa lari tapitunggu hingga pagi tiba. Dalam tiap masyarakat memiliki peribahasa atauungkapan-ungkapan semacam ini yang harus ditemukan artinya olehseorang sosiolog.
Tokoh terkemuka teori ini adalah Harold Garfinkel.
3.Paradigma perilaku sosial
Paradigma ini menyatakan bahwa obyek studi sosiologi yang konkrit danrealistis ialah perilaku manusia atau individu yang tampak dankemungkinan perulangannya. Paradigm ini memusatkan perhatiannyapada hubungan antara pribadi dan hubungan pribadi denganlingkungannya. Menurut paradigma ini tingkah laku seorang individumempunyai hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhi dia dalambertingkah laku. Menurut teori ini tingkah laku manusia atau individu lebihditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai ataustruktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu atau actor kurang sekalimemiliki kebebasan. Teori yang bernaung dibawah paraigma ini adalahteori pertukaran dan tokoh utamanya Goerge Hommas.
A.Teori pertukaran nilai
Teori ini berangkat dari asumsi dasar ‘do ut des” artinya saya memberisupaya engkau juga memberi. Menurut Goerge Simmel peletak toeri ini,semua kontak di antara manusia bertolak dari skema memberi danmemdapatkan kembali dalam jumlah yang sama. Pendukung teori inimerumuskan ke dalam lima proposisi yang saling berhubungan satu samalain.
@. Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentumemperoleh ganjaran atau upah atau manfaat, maka semakin seringorang tersebut akan melakukan tindakan yang sama. Misalnya, seseorangakan meminta nasihat pada seorang psikiatris, kalau ia merasa bahwanasehat orang itu sangat berguna baginya.
@. Jika di masa lalu ada stimulus yang khusus atau satu perangkatstimulus yang merupakan peristiwa di mana tindakan seseorangmempeoleh ganjaran, maka semakin stimuli itu mirip dengan stimuli masalalu, semakin besar kemungkinan orang itu melakukan tindakan serupa.Contoh, seorang nelayan menebar jala di laut yang dalam dan gelap danmenangkap banyak ikan, maka ia cenderung melakukan hal yang samakemudiannya.
@. Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka semakin senang seseorangmelakukan tindakan itu. Misalnya, apabila bantuan yang saya berikankepada orang itu bernilai, maka kemingkinan besar saya akan melakukantindakan yang sama lagi. Sebaliknya bila bantuan kurang bernilai, tidakmungkin diulangi lagi. @. Semakin sering seseorang menerima satu ganjaran dalam waktu yangberdekatan, maka semakin kurang bernilai ganjaran tersebut. Di siniunsure waktu memainkan peranan penting. Misalnya, apabila seseorangmenerima pujian dari orang yang sama dalam waktu yang berdekatan,maka semakin kurang bernilai pujian itu baginya.
@.Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkanatau menerima hukuman, maka ia menjadi marah atau kecewa.Sebaliknya bila seseorang menerima ganjaranyang lebih besar dari apayang ia harapkan, maka ia merasa senang dan lebih besar kemungkinania melakukan perilaku yang disenanginya.
Tokoh utama dari teori ini adalah Goerge Simmel
Masalah sampah tidak hanya sekedar hanya bagaimana mengolah atau mengelola sampah saja, tetapi juga terkait dengan masalah budaya / sosiologi masyarakat. Masyarakat Indonesia umumnya tidak peduli tentang sampah, suka buang sampah sembarangan, dan cenderung mementingkan diri sendiri. Paradigma yang salah ini mungkin merupakan salah satu penyebab kenapa banyak program tentang sampah yang tidak berhasil. Merubah paradigma masyarakat tentang sampah menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari upaya-upaya penanganan sampah secara terpadu.
Contoh sederhana saja. Di sebuah lahan terdapat patok dengan pengumuman yang sangat mencolok: “ DILARANG BUANG SAMPAH DI SINI ”. Pada kenyataannya masih banyak orang yang membuang sampah di tempat itu. Atau larangan-larangan senada lainnya, seperti: “ DILARANG MEMBUANG SAMPAH DI SUNGAI “, “ BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA “, “YANG BUANG SAMPAH DI SINI SETAN” atau bermacam macam larangan lainnya. bmacam tak punya gigi, tidak ada orang yang memperhatikan atau mematuhi larangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah mengenal paradigma yang salah terhadapa larang tersebut oleh karena itu masalah sampah menjadi hal yang paling sering di bicarakan dan tidak pernah selesai seperti kasus yang tak berujung walaupun berbagai upaya sudah di lakukan akan tetapi jika tidak ada peran serta dari masyarakat tidak akan tercapai program yang di jalankan oleh pemerintah untuk mengurangi volume sampah.
Contoh lain. Pemerintah atau lembaga-lembaga lain sudah cukup lama menyediakan tiga tempat sampah yang berbeda. Satu tempat sampah untuk limbah plastik atau logam, satu tempat sampah untuk limbah kertas, dan satu lagi tempat sampah untuk limbah organik. Tulisannya dibuat besar sekali, warnanya menyolok, dan masih terbaca dengan jelas dari jarak yang cukup jauh. Warnanya pun dibuat berbeda-beda. Masalahnya sekarang, apakah warga atau masyarakat sudah membuat sampah sesuai dengan tempatnya. Jawabannya adalah tidak. Mereka membuang sampah semaunya sendiri tampa memperhatikan tulisan-tulisan tersebut.
Pemerintah juga sudah mencoba membuat perda tentang sampah yang akan menghukum orang yang membuang sampah sembarangan. Salah satunya denda Rp. 50 rb untuk orang yang ketahuan membuang sampah sembarangan. Apakah perda ini pernah diberlakukan? Sudahkan ada orang yang didenda karena membuang sampah sembarangan? Jawabannya kita sudah tahu semuanya. Perda ini cuma sekedar tulisan di atas kertas.
Contoh sederhana saja. Di sebuah lahan terdapat patok dengan pengumuman yang sangat mencolok: “ DILARANG BUANG SAMPAH DI SINI ”. Pada kenyataannya masih banyak orang yang membuang sampah di tempat itu. Atau larangan-larangan senada lainnya, seperti: “ DILARANG MEMBUANG SAMPAH DI SUNGAI “, “ BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA “, “YANG BUANG SAMPAH DI SINI SETAN” atau bermacam macam larangan lainnya. bmacam tak punya gigi, tidak ada orang yang memperhatikan atau mematuhi larangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah mengenal paradigma yang salah terhadapa larang tersebut oleh karena itu masalah sampah menjadi hal yang paling sering di bicarakan dan tidak pernah selesai seperti kasus yang tak berujung walaupun berbagai upaya sudah di lakukan akan tetapi jika tidak ada peran serta dari masyarakat tidak akan tercapai program yang di jalankan oleh pemerintah untuk mengurangi volume sampah.
Contoh lain. Pemerintah atau lembaga-lembaga lain sudah cukup lama menyediakan tiga tempat sampah yang berbeda. Satu tempat sampah untuk limbah plastik atau logam, satu tempat sampah untuk limbah kertas, dan satu lagi tempat sampah untuk limbah organik. Tulisannya dibuat besar sekali, warnanya menyolok, dan masih terbaca dengan jelas dari jarak yang cukup jauh. Warnanya pun dibuat berbeda-beda. Masalahnya sekarang, apakah warga atau masyarakat sudah membuat sampah sesuai dengan tempatnya. Jawabannya adalah tidak. Mereka membuang sampah semaunya sendiri tampa memperhatikan tulisan-tulisan tersebut.
Pemerintah juga sudah mencoba membuat perda tentang sampah yang akan menghukum orang yang membuang sampah sembarangan. Salah satunya denda Rp. 50 rb untuk orang yang ketahuan membuang sampah sembarangan. Apakah perda ini pernah diberlakukan? Sudahkan ada orang yang didenda karena membuang sampah sembarangan? Jawabannya kita sudah tahu semuanya. Perda ini cuma sekedar tulisan di atas kertas.
Mencari Akar Permasalahan
Mengapa larangan-larangan, perda-perda, atau segala macam himbauan seperti tidak pernah dihiraukan oleh masyarakat? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Mencari jawaban yang benar dari pertanyaan itu sama pentingnya dengan masalah sampah itu sendiri. Dengan mengetahui jawaban yang benar dan tepat, maka akan lebih mudah bagi kita untuk merumuskan sebuah rencana tentang pengelolaan sampah.
Mungkin perlu dilaksanakan sebuah survei yang mendalam, sistematis, dan komprehensif tentang perilaku masyarakat berkaitan dengan sampah. Ini bukan pekerjaan sederhana. Saya sendiri belum pernah membaca tentang hasil penelitian tentang perilaku masyarakat tentang sampah ini. Saya berharap suatu saat ada yang terketuk hatinya untuk mencari akar permasalahan tentang sampah ini.
Mendapatkan permasalahan yang benar (sekali lagi benar tidak sama dengan betul, karena kebenaran tidak sama dengan kebetulan) adalah langkah awal sebelum melangkah ke tahapan berikutnya. Kalau sudah mendapatkan masalah yang benar, separo kerjaan sudah di tangan. Seringkali jawabannya juga menjadi lebih jelas terlihat. Solusinya lebih mudah diformulasikan.
Mungkin perlu dilaksanakan sebuah survei yang mendalam, sistematis, dan komprehensif tentang perilaku masyarakat berkaitan dengan sampah. Ini bukan pekerjaan sederhana. Saya sendiri belum pernah membaca tentang hasil penelitian tentang perilaku masyarakat tentang sampah ini. Saya berharap suatu saat ada yang terketuk hatinya untuk mencari akar permasalahan tentang sampah ini.
Mendapatkan permasalahan yang benar (sekali lagi benar tidak sama dengan betul, karena kebenaran tidak sama dengan kebetulan) adalah langkah awal sebelum melangkah ke tahapan berikutnya. Kalau sudah mendapatkan masalah yang benar, separo kerjaan sudah di tangan. Seringkali jawabannya juga menjadi lebih jelas terlihat. Solusinya lebih mudah diformulasikan.
Keuntungan yang lain adalah kita bisa menghemat waktu, biaya, tenaga jika masalahnya sudah jelas. Adalah kerugian besar jika kita sudah mengeluarkan waktu, biaya dan tenaga yang besar, ternyata kita mengerjakan masalah yang salah. Masalah tetap ada. MESKIPUN Biaya habis, waktu terbuang, dan pikiran terkuras.
Lanjutan Pembahasan Akar Permasalahan Paradigma Masyarakat tentang Sampah
Seperti yang sudah saya sampaikan di kolom lain, Adalah. belum ada kebenaran tentang akar permasalahan sampah di Indonesia. Tetapi sepanjang pengalaman saya menggeluti tentang persampahan ini, salah satunya adalah paradigma masyarakat yang salah tentang sampah. Sampah adalah barang/sesuatu yang sudah tidak ada gunanya sama sekali. Sampah adalah bau. Sampah adalah sumber bersarangnya berbagai macam penyakit. Dan stigma-stigma negatif lainnya.
Mereka tahu kalau membuang sampah sembarangan itu tidak baik, tetapi mereka tetap saja membuang sampah sembarangan.
Mereka tahu kalau membuang sampah di sungai bisa menyebabkan aliran sungai mampet dan bisa menyebabkan banjir, tetapi mereka tetap saja membuang sampah ke sungai/saluran air.
Mereka tahu kalau sampah organik bisa jadi kompos, tetapi mereka engan membuat kompos.
Mereka tahu kalau sampah sebaiknya dipisah, tetapi mereka malas memilah-milah sampah.
Dan seterusnya..dan seterusnya…….
Pemerintah sudah banyak mengeluarkan banyak dana untuk berbagai macam program tentang pengelolaan sampah ini. Membangun TPA, membuat tempat-tempat sampah, mendatangkan teknologi hi-tech dari luar, dan banyak program yang lainnya. Program-program tersebut banyak terfokus pada program-program fisik saja. Sisi non-fisiknya belum banyak disentuh, atau pun kalau ada cuma pelengkap saja.
Padahal masalah ‘non-fisik’ ini tidak kalah penting dibandingkan dengan program-program fisik. Justru ini yang lebih sulit, membutuhkan waktu lama, kontinuitas, dan dana yang tidak sedikit. Merubah sebuah kebiasaan, budaya, dan paradigma bukan masalah sederhana. Tidak cukup hanya satu atau dua tahun saja.
Mereka tahu kalau membuang sampah sembarangan itu tidak baik, tetapi mereka tetap saja membuang sampah sembarangan.
Mereka tahu kalau membuang sampah di sungai bisa menyebabkan aliran sungai mampet dan bisa menyebabkan banjir, tetapi mereka tetap saja membuang sampah ke sungai/saluran air.
Mereka tahu kalau sampah organik bisa jadi kompos, tetapi mereka engan membuat kompos.
Mereka tahu kalau sampah sebaiknya dipisah, tetapi mereka malas memilah-milah sampah.
Dan seterusnya..dan seterusnya…….
Pemerintah sudah banyak mengeluarkan banyak dana untuk berbagai macam program tentang pengelolaan sampah ini. Membangun TPA, membuat tempat-tempat sampah, mendatangkan teknologi hi-tech dari luar, dan banyak program yang lainnya. Program-program tersebut banyak terfokus pada program-program fisik saja. Sisi non-fisiknya belum banyak disentuh, atau pun kalau ada cuma pelengkap saja.
Padahal masalah ‘non-fisik’ ini tidak kalah penting dibandingkan dengan program-program fisik. Justru ini yang lebih sulit, membutuhkan waktu lama, kontinuitas, dan dana yang tidak sedikit. Merubah sebuah kebiasaan, budaya, dan paradigma bukan masalah sederhana. Tidak cukup hanya satu atau dua tahun saja.
Oleh karena itu, saya berharap program-program yang berkaitan dengan merubah paradigma dan budaya masyarakat menjadi program yang tidak terpisahkan dari program-program persampahan yang digulirkan pemerintah. Porsinya juga harus sebanding dengan program-program fisik.
Banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah dengan memasukkan dalam kurikulum pendidikan, baik mulai dari tingkat TK – sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan merupakan salah satu metode yang sudah teruji untuk merubah budaya secara sistematis. Institusi pendidikan seharusnya menjadi contoh dalam penerapan pengelolaan sampah yang baik.
Berikutnya adalah himbauan-himbauan melalui media massa, baik elektronik (TV, radio), maupun media cetak (koran, majalah, buletin, dan lain-lain). Himbauan ini bisa dalam bentuk iklan layanan masyarakat. Atau bisa juga diselipkan di iklan-iklan komersial. Tidak harus jelas, pesan bisa disampaikan secara tersirat. Pihak media (wartawan) bisa menampilkan berita-berita tentang akibat buruk membuang sampah sembarangan. Di sisi lain, ditampilkan juga berita-berita tentang orang-orang yang sudah berhasil mengelola sampah. Kalau di media cetak bisa dituliskan tentang teknologi pengelolaan sampah, pemanfaatan sampah, dan hal lain yang berkaitan dengan itu.
Pemerintah atau institusi terkait lainnya bisa mencetak poster-poster, buletin, atau selebaran-selebaran tentang sampah. Bahan-bahan ini disebarkan di tempat-tempat umum, masjid-masjid, di dalam bis kota, kereta, atau tempat-tempat strategis lainnya. Program ini juga dilaksanakan secara berkala dan kontinyu. Setiap tahapan harus dievaluasi agar keberhasilan program juga bisa diukur. Perusahaan-perusahaan besar bisa menyalurkan sebagian dana CSR-nya untuk program-program ini. Tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga yang non-fisik ini.
Banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah dengan memasukkan dalam kurikulum pendidikan, baik mulai dari tingkat TK – sampai Perguruan Tinggi. Pendidikan merupakan salah satu metode yang sudah teruji untuk merubah budaya secara sistematis. Institusi pendidikan seharusnya menjadi contoh dalam penerapan pengelolaan sampah yang baik.
Berikutnya adalah himbauan-himbauan melalui media massa, baik elektronik (TV, radio), maupun media cetak (koran, majalah, buletin, dan lain-lain). Himbauan ini bisa dalam bentuk iklan layanan masyarakat. Atau bisa juga diselipkan di iklan-iklan komersial. Tidak harus jelas, pesan bisa disampaikan secara tersirat. Pihak media (wartawan) bisa menampilkan berita-berita tentang akibat buruk membuang sampah sembarangan. Di sisi lain, ditampilkan juga berita-berita tentang orang-orang yang sudah berhasil mengelola sampah. Kalau di media cetak bisa dituliskan tentang teknologi pengelolaan sampah, pemanfaatan sampah, dan hal lain yang berkaitan dengan itu.
Pemerintah atau institusi terkait lainnya bisa mencetak poster-poster, buletin, atau selebaran-selebaran tentang sampah. Bahan-bahan ini disebarkan di tempat-tempat umum, masjid-masjid, di dalam bis kota, kereta, atau tempat-tempat strategis lainnya. Program ini juga dilaksanakan secara berkala dan kontinyu. Setiap tahapan harus dievaluasi agar keberhasilan program juga bisa diukur. Perusahaan-perusahaan besar bisa menyalurkan sebagian dana CSR-nya untuk program-program ini. Tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga yang non-fisik ini.
Program lain adalah pemberian penghargaan. Penghargaan seperti Piala Adipura atau Kalpataru perlu lebih digalakkan kembali. Selain itu kota-kota yang mendapatkan hadiah Adipura juga mendapatkan dana tambahan untuk program-program pengelolaan sampah dan lingkungan. Jumlahnya harus cukup besar agar lebih menarik minat pemerintah daerah. Orang-orang yang sudah berhasil dalam mengelola sampah juga perlu mendapatkan perhatian dan penghargaan yang besar.
Seiring dengan program-program di atas, penegakkan hukum juga harus dilaksanakan dengan tegas. Perda-perda yang sudah ada dilaksanakan secara konsisten. Seiring dengan meningkatnya pemahanam masyarakat tentang sampah, hukuman atau denda juga diterapkan dengan tegas.
Memang terdengar seperti UTOPIA, kondisi ideal yang hanya ada di negeri dongeng. Jangan terlalu skeptis. Upaya tetap harus dilakukan. Dimulai yang paling mungkin dan paling mudah dilakukan. Dimulai dari diri kita sendiri. Di mulai dari keluarga kita sendiri. Di mulai dari wilayah-wilayah yang beredar di bawah kendali kita. Bukan mustahil, negeri impian ini akan terwujud di tanah air ini. Wallahu’alam.
Seiring dengan program-program di atas, penegakkan hukum juga harus dilaksanakan dengan tegas. Perda-perda yang sudah ada dilaksanakan secara konsisten. Seiring dengan meningkatnya pemahanam masyarakat tentang sampah, hukuman atau denda juga diterapkan dengan tegas.
Memang terdengar seperti UTOPIA, kondisi ideal yang hanya ada di negeri dongeng. Jangan terlalu skeptis. Upaya tetap harus dilakukan. Dimulai yang paling mungkin dan paling mudah dilakukan. Dimulai dari diri kita sendiri. Di mulai dari keluarga kita sendiri. Di mulai dari wilayah-wilayah yang beredar di bawah kendali kita. Bukan mustahil, negeri impian ini akan terwujud di tanah air ini. Wallahu’alam.
Paradigma Baru Dalam Penanganan Sampah Kota
Sampai sekarang ini sudah terdapat berbagai macam gerakan yang di lakukan oleh pemerintah contohnya P3/P4/P5 (Selalu berkembang untuk menjadi lebih baik). Oleh karenanya, paradigma lama dalam penanganan sampah kota yang semula terdiri atas pola aktivitas P3 (pengumpulan-pengangkutan-pembuangan), yang kini tengah bergeser ke pola P4 (pemilahan-pengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu), perlu disempurnakan lebih lanjut menjadi pola P5, yaitu: pemisahan sampah B3-pemilahan-pengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu. Pendekatan ini, selain dapat mereduksi laju timbulan sampah kota, juga dapat menjaga mutu lingkungan hidup dari efek komponen-komponen yang membahayakan kesehatan masyarakat.
Bilamana pola P5 berhasil diterapkan, maka pergeseran pengelolaan sampah kota akan lebih mendukung target MDGs. Namun, tentu saja implementasi dari aktivitas P5 memerlukan persiapan yang seksama, terutama peraturan pemerintah pendukung UURI No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, petunjuk pelaksanaannya, perencanaan dan penyediaan fasilitas pendukung, sistem pengumpulan dan pengangkutan khusus, serta pola pengoperasiannya pada tingkat kota.
Hingga saat ini, baru satu perusahaan, yaitu PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) yang memiliki lisensi yang menangani pengolahan dan pembuangan limbah B3 di Indonesia. Perusahaan yang terletak di Cileungsi tersebut memberikan pelayanan mulai dari pengangkutan limbah B3 cair maupun padat, proses pengolahannya, serta pembuangan akhir (Anonim, 2006). Namun, dilaporkan bahwa PPLI baru menangani 200.000 ton limbah B3 setiap tahunnya, atau hanya 35% dari kapasitas tahunan yang dimilikinya (Corcoran, 2003). Jumlah ini hanya mencakup 12% dari total limbah B3 yang dihasilkan di seluruh Indonesia. Faktor penyebab terbatasnya perusahaan industri yang mau mengirimkan limbahnya ke perusahaan ini adalah kurangnya aspek penegakan hukum lingkungan, serta kurangnya kepedulian lingkungan dari para penghasil limbah B3. Dari aspek teknis operasional, faktor penyebab lain adalah mahalnya biaya transportasi limbah B3 karena faktor jarak, serta mahalnya tarif biaya pengolahan.
Kondisi tersebut di atas menggambarkan bahwa penerapan P5 sebagai paradigma baru pengelolaan sampah, masih akan menghadapi kendala yang harus diatasi. Pemerintah Kota harus mempersiapkan fasilitas untuk penanganan sampah B3 yang berasal dari rumah tangga dan sumber-sumber lainnya. Selain itu, desentralisasi fasilitas pengolahan dan pembuangan limbah B3 perlu dilakukan mengingat kondisi geografis Indonesia yang luas, serta tersebarnya sumber-sumber limbah B3 di seluruh wilayah Indonesia.
Penanganan sampah kota merupakan salah satu bagian penting dari proses pembangunan berkelanjutan yang memiliki target untuk memenuhi kepentingan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Dalam kerangka itu, perkembangan paradigma dalam penanganan sampah kota telah ikut menunjang hampir semua target MDGs, sehubungan dengan kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan, pemberdayaan peran gender, penurunan tingkat kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, lebih terkendalinya perkembangan penyakit, dan tercapainya sustainabilitas lingkungan
Sampah kota merupakan potensi sumber daya yang dapat menunjang perekonomian kota apabila dikelola dengan baik, tetapi dapat menjadi bencana apabila tidak dikelola secara layak. Hal-hal yang dapat direkomendasikan untuk peningkatan pelayanan pengelolaan sampah kota adalah:
- Berorientasi pada upaya pencegahan pembentukan sampah dan minimisasi timbulan sampah melalui kegiatan 3R dengan melibatkan masyarakat
- Memasukkan materi tentang pencemaran dan pendekatan sanitasi lingkungan yang komprehensif dan menarik ke dalam kurikulum pendidikan dasar hingga menengah
- Diperlukan peran pemerintah dalam hal penetapan kebijakan yang mendukung sosialisasi penggunaan produk daur ulang sampah yang dapat membantu peningkatan produksi dan distribusi hasil daur ulang sampah
- Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang jelas mengenai karakteristik produk-produk pangan maupun non pangan yang digunakan, serta cara menangani sampah pasca pemakaian. Hal ini bertujuan selain untuk meningkatkan pemahaman tentang potensi dan cara daur ulang, juga untuk mengetahui sejak dini kemungkinan terdapatnya komponen B3 dalam sampah yang dihasilkan.
- Pola penanganan sampah P5, yaitu: pemisahan sampah B3-pemilahan-pengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu, sudah saatnya untuk mendapatkan prioritas untuk dilaksanakan. Hal ini diperlukan guna menekan pencemaran lingkungan oleh komponen yang membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan
Pendekatan yang dilakukan untuk merubah paradigma masyarakat
Keberhasilan pelaksanaan program reduksi sampah tidak terlepas dari keterlibatan masyarakat. Kota Surabaya telah menerapkan sistem pengelolaan sampah kota berbasis masyarakat sejak tahun 2001. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengolahan sampah kota, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya mempunyai program unggulan berupa pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas. Program unggulan ini bertujuan untuk mengurangi volume sampah mulai dari sumber. Adapun mekanisme pelaksanaan program unggulan adalah sebagai berikut:
- Melaksanakan kegiatan pendampingan dengan bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (a.l. Bangun Pertiwi, Sahabat Lingkungan, Yayasan BLTKI, Pusdakota, Bina Mandiri, PT Unilever Indonesia melalui Yayasan Uli Peduli, dan Madani)
- Melaksanakan kerjasama dengan komponen masyarakat, dalam hal ini PKK
- Bekerjasama dengan banyak pihak menyelenggarakan lomba kebersihan, diantaranya program Green and Clean, Surabaya Berbunga, serta lomba kebersihan antar kecamatan
- Melaksanakan operasi yustisi, yaitu dengan mendatangi langsung setiap wilayah
- Melakukan sosialisasi budaya bersih melalui kecamatan-kecamatan
Upaya Pemerintah Kota Surabaya dalam mereduksi sampah di sumber banyak didukung oleh LSM dan sebuah perusahaan industri besar yang melakukan program Corporate Social Responsibility (CSR). Kegiatan penanganan sampah yang dilakukan adalah memisahkan sampah basah dan sampah kering, membuat kompos, membuat berbagai asesoris, payung, jaket, tas dan sebagainya dari sampah plastik, menjual sampah kering lainnya berupa kertas, logam yang telah dipisahkan.
Berikut ini adalah pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh LSM dalam rangka pemberdayaan masyarakat Kota Surabaya untuk mengurangi sampahnya:
a. Pengadaan percontohan pengolahan sampah. Mind-set masyarakat ternyata lebih mudah berubah apabila melihat langsung keberhasilan sebuah program baru, melalui percontohan. Hal inilah yang ditempuh LSM yang pada awalnya banyak mengalami kesulitan dalam memperkenalkan teknologi pengolahan sampah kepada masyarakat.
b. Pembentukan kader lingkungan. Kader lingkungan diadakan dan dididik melalui program pelatihan yang diadakan DKP dan mitranya. Jumlah kader yang sudah ada pada saat ini mencapai 5000-an orang. Tim Penggerak PKK Kota Surabaya, bekerjasama dengan DKP secara rutin setiap minggu sekali menyelenggarakan kegiatan penyuluhan bagi warga kota di daerah Kebun Bibit. Produk yang diharapkan adalah kader lingkungan yang dapat melaksanakan kegiatan pemilahan dan pengolahan sampah di daerah tempat tinggalnya.
c. Pendampingan warga. Kader lingkungan bertugas pula untuk pendampingan warga dalam melaksanakan aktivitas pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga. Setiap kader melakukan pendampingan terhadap warga dari satu dasawisma atau 1 RT.
d. Pengadaan prasarana kebersihan. DKP bersama LSM melakukan pembagian komposter rumah tangga (KRT), keranjang Takakura, pengadaan gerobak sampah dan pembangunan rumah kompos. Pemberian fasilitas tersebut memperoleh support dari DKP dan sumber lain, seperti Dinas Pendidikan Nasional, PLN, dan sebagainya.
e. Pemantauan. Kegiatan pemantauan pada umumnya dilakukan oleh para kader. Pemantauan dilakukan melalui kunjungan langsung, atau melalui telepon. Informasi yang diperoleh dapat menjadi masukan bagi organisasi pemberdaya masyarakat, Lurah dan DKP untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah di sumber.
f. Diseminasi kegiatan. Masyarakat melakukan diseminasi kegiatan pemilahan dan pengolahan sampah, baik secara aktif maupun pasif:
· Diseminasi aktif: Masyarakat bersama kader lingkungan secara aktif memberikan penyuluhan dan pelatihan di daerah binaannya bagi masyarakat luar. Hal ini menjadikan daerah binaan tersebut menjadi pusat pembelajaran, sekaligus mengubah lokasi yang semula memiliki kecenderungan tertutup, menjadi terbuka bagi masyarakat luar. Termasuk dalam kategori diseminasi aktif adalah pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan di luar daerah binaan, dengan cara mengundang kelompok masyarakat yang membutuhkan.
· Diseminasi pasif. Kegiatan yang dilakukan di daerah binaan secara tidak langsung menjadi sumber inspirasi, motivasi dan semangat bagi orang-orang yang berkunjung untuk melaksanakan kegiatan yang sama di tempat tinggalnya.
Kendala
Perlu ditambahkan bahwa ada kendala yang harus dihadapi warga pelaku daur ulang sampah. Kompos yang dibuat pada skala rumah tangga, hingga saat ini masih terserap untuk memenuhi keperluan sendiri oleh rumah-tangga penghasilnya. Namun, produk dari pengolahan sampah plastik telah menghadapi masalah dalam pemasaran. Kendala ini dirasakan mulai mengganggu semangat warga dalam melakukan daur ulang. Bila tidak ada pihak yang turun-tangan untuk mengatasi hal ini, dikhawatirkan sustainabilitas partisipasi warga kota dalam mengurangi sampah kota dapat terganggu.
Penyelesaian
Dari masalah di atas dapat kita hubungkan dengan penyelesaiannya sebagai berikut. Pertama perlu diadakannya penyuluhan tentang penanganan sampah yang dapat di daur ulang sehingga program yang telah di sebutkan diatas dapat berjalan sesuai dengan keinginan dan harapan yang di tuju. Kedua membangkitkan semangat masyarakat untuk mendaur ulang sampah, terutama sampah plastik yang dikeluhkan oleh masyarakat jadi ini adalah tanggung jawab sebagai pihak yang berwenang menangani masalah tersebut. Dan terakhir adalah melakukan gerakan yang dapat membantu proses – proses pengolahan sampah, seperti : Kerja Bakti.
Kesimpulan
Sampah adalah hal yang tidak asing lagi di kehidupan masyarakat, terutama masyarakat Jakarta. Dalam masalah ini pemerintah harus berperan aktif untuk mengurangi sampah yang ada di daerah daerah kota karena mayoritas penduduk menempati daerah kota dengan alasan untuk mendapat penghidupan yang layak. Akan tetapi jika pemerintah sudah menggalakkan program – program untuk mengurangi sampah di kota dan masyarakat tidak memiliki partisipasi dan kesadaran yangkuat maka hal itu akan menjadi sia-sia dan tidak akan terwujud kota yang bersih, indah dan nyaman. Oleh karena itu, perlu diadakannya tindakan – tindakan yang dapat mengurangi masalah sampah tersebut. Dimana pada masa kini masyarakat masih belum peduli terhadapa sampah, karena masih banyak saja masyarakat yang membuang sampah sembarangan dan di tempat yang tidak layak untuk di penuhi oleh sampah – sampah, seperti: Taman, Sungai, Pantai dan lain lain. Kehidupan sekarang memang modern tapi jangan sampai kemodrnan itu membuat kita lupa dengan kebersihan lingkungan, seharusnya modern itu adalah kemajuan berpikiran sehingga seharusnya masyarakat harus bisa membudayakan hidup bersih
0 comments:
Post a Comment